Tumben Aku bisa makan nasi goreng dari jatah makan yang diberikan petugas Coyo yang kutumpangi. Rasanya sungguh beda dengan masakan bus malam sebelumnya. Pemberhentianku di rumah makan Taman Sari, Tuban. Hampir saja perasaanku tercurah kalau kupon yang kubawa sebagai tagihan tidak kubaca dulu.
Pantes! Eksekutif sih. Ini bisa lebih dari sekedar Nasgor. Hee otak tak puasku kembali memenuhi ruang di kepalaku. Seperti biasanya. Sudahlah, peduli amat! Toh ini salahku juga. Aku buru-buru ambil keputusan. Eits! Tapi itu bukan sepenuhnya salahku! Sore itu hujan lebat. Busku, Akas Asri, datang terlambat. Pukul 18.00, seharusnya jatah bus malam bangun dari terminal. Aku akan terlambat jika tak segera ambil tiket. Kuraih jenis apapun dari Coyo, Agen yang telah lama jadi penuntun pulangku. Namun, memang lagi nasib, busnya juga terlambat.
Kembali ke saat makanku sekarang. Aku lagi teringat atas ulahku sore tadi. Secara tidak sengaja aku telah 'mengerjai' keponakanku. Hehe Mas Kancil, panggilan akrabnya sejak kecil. Cocok dengan sifatnya, pintar dan lincah. Dia kerja dan kost di Surabaya.
Berawal dari kemarin petang.
“Cil, besok aku mampir”.
“Oke mas, mau datang jam berapa? Aku jemput di terminal wis.”
“Siang, Cil. Ya Sudah, terimakasih ya.”
Lalu tadi siangnya. “Waduh, Cil. Shofi nya ... (Sensor! Hehe takut dia marah kalau sampai tahu. Padahal aku cuma pengen nulis ...ngrengek tidak mau ditinggal). Aku baru bisa berangkat siang ini. Jadwal Coyo terkejar tidak ya?”
“Terkejar, Mas. Sudah pesan tiket?”
“Hee, belum. Bisa aku repotin lagi, Cil?”
“Oke mas, kita ketemu di terminal saja ya”.
Singkat cerita busku terlambat. Aku seperti memaksa, meminta tolong datang agar bisa segera membelikan tiket. Aku masih ingat hujan lebat itu. Aku juga tahu sebentar lagi tiba. Tapi aku panik. Akhirnya seperti biasa. Tanpa ngerasa direpotkan. Dia pergi juga.
Aku tiba lebih dulu dari Kancil. Seperti tidak tahu dia lagi melawan hujan. Kutelepon dia. “Cil, aku sudah sampai. Aku masuk terminal dulu ya. Mengejar tiket”.
“Ya, Mas. Tunggu aku di lobi ya”.
Ternyata begitu karcis kudapat. Busnya datang. Kutelepon berkali-kali, tidak diangkat. Aku naik saja. Sebentar saja aku duduk, HP bunyi. Dari Kancil. “Cil, bisnya sudah mau jalan.”
“Jadi gak sempat ketemu ya, Mas”
“Iya, Cil. Maaf ya” Kutangkap rasa kecewa darinya.
Lagi, aku digoncang laju bus di jalan 'halus'. Kututup mataku, berharap kejadian sore tadi tak masuk dalam mimpku.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
weee lahhhhh piye tah iki vin..aku serius moco ki kok masih aja bingung
BalasHapus@Yumaima
BalasHapushalah.. tetep gak ngerti juga? duh, mensejajarkan aku ke dunia persilatan yang lebih tinggi kok sulit buanget yah
kasihan si kancil...
BalasHapussi kancil anak nakal
BalasHapussuka mencuri ketimun
lho kok malah nyanyi aku
hehehehe
waduh parah juga si mas ini he..he..
BalasHapuskasian tu mas kancilnya..=(( hayoooo..
sip deh mas.
BalasHapussekarang bukan jamannya cerita made in Punjabi brother. Dengan akhir yang jelas :d
@suryaden
BalasHapuskabar terakhir kudengar, dia jadi kena radang tenggorokan karena ini
@attayaya
heh?!
@hryh77
gara-gara panik jadi mikir urusane ndiri, sifat jelekku keluar..ahh payah
@jonk
ehe..itu akhire jelas kok mas,jadi bikin kecewa seseorang
kancil yang malang wkwkwk...
BalasHapus