Seorang ibu tua menaiki angkot yang memang diperlukannya untuk menuju alamat di suatu kota. Tampak persis di selasar antara tempat duduk bus kecil itu. Tiada yang kosong setelah dia berulang kali meyakinkan pandangannya ke sekeliling. Berharap ada yang siap-siap mau turun tapi kemudian disirnakannya. Walau dilihatnya semua masih terjaga. Wajah renta sedikit keringat tipis di dahi di antara jilbab kusut itu menyandar di sisi sandaran duduk anak SMA yang asyik dengan Blackberrynya.
Di tepi kota pelajar di jalan pemecah sekolah ada pria tua tak kuat mendorong gerobak berisi bongkaran gedung dari tanah yang mau dibangun kembali gedung sosial dekat sekolah-sekolah itu. Itu pagi hari dan belum terdengar bel masuk. Bisa dilihat para siswa masih sering terlihat melewati bapak itu. Yang tua masih berusaha mati-matian membebaskan gerobak dari cekungan rusak jalan. Terkadang ada beberapa guru yang melintas. Ada pedagang asongan duduk santai lima meter dari pak tua. Jalan bertambah ramai menjelang bel masuk dan bapak itu masih berusaha saja.
Anak kecil nakal berlari senang ketika berhasil membangunkan satu keluarga di rumah ujung gang itu dengan sebuah petasan. Hampir setiap rumah di sisi gang mengutuknya. Saking senangnya jadi lengah. Di ujung gang itu juga di tepi jalan besar dia terserempet motor. Hanya lecet saja tapi sempat mengaduh kesakitan menyandar gapura gang. Teras rumah-rumah sisi-sisi gang penuh sesak oleh penghuninya melihatnya. Anak itu masih meratap ditinggal penyerempet. Lecetnya terlihat memerah. Menangis di pinggiran jalan. Sendiri.
Pengemis buta coba selamatkan diri dari hujan yang datang tiba-tiba. Dari bawah lampu merah dengan halte jaraknya tak terlalu jauh. Kalau diperhatikan dari camping bajunya. Sudah lama sekali tak digantinya. Wajar saja dia bergumul dengan waktu menghindari hujan. Tapi dia buta. Di trotoarnya lumayan padat pejalan kaki. Sebagian besar orang kantoran. Mereka juga berjuang. Mereka dan pengemis buta sama-sama mencari teduhan. Tetapi dengan pengemis yang buta.
Seorang gadis. Tidak cantik. Tidak seksi juga. Perawannya mau ditanyakan juga? Dia menjerit saat tas jinjingnya di jambret pengendara motor. Tak terkejar dan dia tertunduk lesu. Kota itu baru dikenalnya beberapa waktu lalu sejak turun dari bus jurusan Tegal-Jakarta. Tampaknya semua bawaannya raib. Dia bingung di antara tangisnya. Dia tidak cantik juga seksi.
Anda masih yakin ada yang perduli pada mereka?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Kepeduliaan itu makin menipis bahkan sudah tidak tampak lagi bekasnya. Manusia kini menyembah apa yang disebut materialisme dengan berbagai ukuran dan atributnya dan mimpi-mimpi yang menyertainya...
BalasHapusKita memang tidak bisa menyuruh orang lain untuk peduli mas, karena toh setiap orang punya alasan dalam sikap.Tapi setidaknya kita mulai dari diri sendiri untuk "mempedulikan" orang lain..
BalasHapusApa kabar Mas? Lama tidak berkunjung..
Manusia semakin terikat pada egonya sendiri...Menyedihkan, namun itulah kenyataan
BalasHapusAyo mulai vin, keperdulian kita. Ditengah sifat individualisme yang makin menonjol, kita tetap bisa perduli, kalau kta mau. Gak gombal kok, swear. Lha buktinya tulisan ini meluncur..., karena kepedulianmu kan vin !? Selamat menanti bedug.
BalasHapusrasa kebersamaan dan kemanusiaan yang mulai luntur
BalasHapusWallahualam bro....
BalasHapusrasa itu mungkin sudah berangsur hilang, ntah mengapa? mungkin pertanyaan tsb tidak ada yang peduli.
BalasHapusKenapa yah indonesia jadi seperti ini??
BalasHapuskebersamaan dan peduli serta keinginan untuk berbagi semakin menipis....... kita mesti prihatin dengan keadaan ini. mari kita mulai dari diri kita sendiri
BalasHapusjaman sekarang yang begitulah mas T.T
BalasHapus